UU BHP dan Pendidikan Murah
Salah satu argumen penting dalam menolak UU BHP adalah badan hukum menyebabkan pendidikan tinggi menjadi mahal. Jadi pendidikan tinggi harus diselenggarakan pemerintah. Menurut saya, argumen ini sangat misleading dan menipu. Di Indonesia, tanpa menjadi badan hukum yang otonom, perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah akan mengalami kesulitan untuk berkembang.
Perrtama kita semua harus clear. Pendidikan yang bermutu itu berbiaya mahal. Ongkosnya mahal. Baik biaya gaji, biaya operasi, biaya fasilitas, dan biaya pengembangan. Kalau ada yang mengatakan bisa membuat pendidikan tinggi berkualitas tanpa biaya, silahkan mendirikan yayasan sekarang juga, kemudian membuka universitas dan terima mahasiswa dari seluruh Indonesia. Saya ingin lihat apakah bisa. Kalau ya, saya akan menirunya. Kalau tidak, berarti nipu tuh. Seperti blue energy.
Kalau biaya terus ditekan, maka yang akan terjadi adalah pendidikan murahan. Dosen mengajar asal-asalan. Fasilitas bukan saja minimalis, tapi nihilis. Paling-paling yang bagus itu cuma cetakan ijazahnya. Yang juga useless.
Lagi pula apa enaknya mendapat sesuatu yang murah? Bukankah sesuatu yang istimewa harus diperjuangkan dengan keras? Keinginan untuk mendapat segala sesuatu yang murah itu datang dari sikap konsumtif. Sikap yang ingin dilayani. Sikap yang tidak menghargai dan mengapresiasi nilai-nilai produksi pendidikan berkualitas.
Dan murah itu bisa berarti mahal. Ibaratnya kita ke dokter yang murah berkali-kali tapi tidak sembuh-sembuh. Itu menurut saya mahal sekali. Bisa-bisa kita bayar dengan nyawa atau cacat permanen. Demikian juga pendidikan murahan merusak anak didik. Membuatnya tidak bisa berfungsi di dunia modern. Merusak kecerdasannya sehingga cacat permanen.
Jadi jangan gampang percaya dengan sesuatu yang bagus tapi murah secara tidak masuk akal. Bisa-bisa itu barang palsu. Pendidikan murah berpotensi menjadi pendidikan palsu.
Nah, having said that, saya mengerti dan sangat bersimpati pada anak-anak cerdas tapi tidak punya uang. Tidak boleh ada di republik ini anak yang tidak terdidik. Tidak boleh ada anak cerdas yang tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Tidak boleh. Titik. Untuk mereka pemerintah dan kita semua wajib memberikan fasilitas keuangan. Mulai dari beasiswa, grant, sampai pada student loans. Jadi kita tidak menurunkan tarif sekolah, tapi menyediakan dana untuk mereka membayar. Kita tidak memangkas SPP, tapi menyediakan fasilitas keuangan untuk mereka.
Point saya, daripada menurunkan standar pendidikan melalui penurunan harga, lebih baik meningkatkan daya jangkau masyarakat. Dengan pikiran ini, kita win-win. Biaya pendidikan terpenuhi, dan daya beli masyarakat meningkat.
Saya sangat terganggu saat orang tua menolak membayar biaya pendidikan sambil menghabiskan uang untuk rokok, kosmetik, pulsa, dan HP model terbaru. Menghadapi beban biaya pendidikan yang sangat berat untuk anak-anaknya, ayah-ibu saya tidak demo di jalan. Mereka menjual rumah dan harta milik mereka untuk menyekolahkan saya dan adik-kakak saya sampai lulus di perguruan tinggi. Terbetik dalam tindakan ini, mereka sangat menghargai pendidikan. Tidak menganggapnya murahan.
Kemudian, tidak ada hubungannya antara biaya murah dengan badan hukum. Dengan badan hukum, perguruan tinggi bisa melakukan tindakan hukum. Bisa membuat ketentuan sendiri. Bisa melakukan inovasi. Bisa melakukan terobosan pendidikan. Dan semua itu bisa dilakukan dengan biaya lebih murah ketimbang bila dilakukan birokrasi pemerintah.
Tanpa badan hukum, PTN harus patuh terhadap semua ketentuan pemerintah yang seragam. Yang ditulis oleh birokrat-birokrat yang harus mempertimbangkan semua situasi dari Sabang sampai Merauke. Hasilnya: average.
Dan bukan rahasia lagi. Semua yang diurus birokrasi pemerintah hari ini, untuk berkualitas baik pasti sangat mahal. Kalau murah, pasti jelek. Butuh otonomi untuk bisa menaikkan kualitas sekaligus menurunkan biaya.
Mengapa demikian?
Kemampuan birokrasi pemerintah Indonesia mengurus pendidikan masih lebih lemah ketimbang kemampuan pimpinan universitas mengurus kampus. Peraturan masih dibuat dengan kurang cerdas. Bahkan sering tenaga dari universitas harus mengisi tugas-tugas di pemerintahan. Peraturan yang dibuat sendiri di kampus sering lebih cerdas ketimbang peraturan yang dibuatkan oleh pemerintah. SDM nya pun lebih siap. Jadi sebenarnya aneh sekali kalau kemudian seluruh perguruan tinggi (negeri) di Indonesia harus menyesuaikan diri dengan kelemahan pemerintah itu. Seharusnya terbalik. Kampuslah yang mengangkat kualitas pemerintah, bukan sebaliknya. Tanpa menjadi badan hukum otonom, peraturan dalam kampus dibuat oleh birokrat pemerintah yang tidak tahu persis situasi yang dihadapi tiap perguruan tinggi.
Orang mengambil contoh Jerman. Konon perguruan tinggi di Jerman itu adalah lembaga pemerintah. Jadi sekolah bisa gratis dengan kualitas bagus. Ini betul. Tapi orang lupa bahwa birokrasi pemerintah Jerman itu sudah sangat maju. Tata kelola badan pemerintah sudah sangat maju. Peraturan-peraturannya tidak membingungkan. SDM dan pengambil keputusannya cerdas dan rasional. Pra kondisi ini tidak valid di Indonesia. Kemudian, kalau kita lihat Top Ranking universitas di dunia, universitas Jerman masih kalah dibanding Amerika Utara, Inggris, Jepang, Cina, dan bahkan Singapura.
Jadi kembali lagi. Argumen yang beredar –bahwa adanya badan hukum pendidikan untuk perguruan tinggi negeri menyebabkan pendidikan jadi mahal itu — tidak valid dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Itu pendapat yang tidak jujur dan menipu publik. Itu menyebabkan kita akan tetap miskin, karena tidak ada insentif untuk keluar dari kemiskinan (miskin juga bisa dapat semua yang kita mau kok?) dan pendidikan yang bekualitas rendah tidak membuat kita berdaya (what do you expect for these kind of budget?).
Banyak orang Indonesia akan kuliah di Australia, Singapura, Malaysia, dan tempat lain. Dan mereka akan senang membayar mahal for real education…
April 9, 2010 at 4:14 am
saya setuju Pak, pendidikan memang mahal. Di Eropa, seperti Jerman, tuition fee di univ2 memang murah. Tapi ingat pajak disana tinggi. minimal 36%. jadi wajar mendapat pendidikan murah, transportasi umum memadai, dan pelayanan kesehatan yg baik.
Tentu sangat berbeda dengan di Indonesia. Pajak 15% (CMIIW). Gimana mau minta pendidikan murah ?
April 9, 2010 at 8:53 am
Masalah ranking… perlu dilihat siapa yang merangkingnya, Pak..
Karena dari segi jumlah publikasi, untuk bidang teknik dan ekonomi, Jerman tidak kalah. Malah, untuk bidang ekonomi, kita tahu bahwa paradigma sistem ekonomi a’la Amerika malah mengundang krisis.
April 10, 2010 at 8:12 am
Jangan sampai pemerintah lari dari tanggung jawabnya atas pendidikan bagi rakyat ….
April 12, 2010 at 3:16 pm
kami rakyat sudah bayar pajak, apakah kami juga harus bayar biaya kuliah yang mahal..?uang pajak dinikmati oleh koruptor dan juga dipakai tuk bayar remunerasi pegawai. sebaiknya uang pajak dipakai tuk membiayai pendidikan tinggi sehingga PTN di indonesia tidak kekurangan dana dan minta di BHP
May 6, 2010 at 10:47 am
bukankah dlm UUD 1945 dktkn bahwa pemerintah menjamin pendidikan setiap anak?
seharusnya pendidikan dibuat seterjangkau mungkin tanpa mengurangi kualitas tentunya
UU BHP bertentangan dengan UUD 1945!!!!
setelah biaya pendidikan mahal, apakah menjamin mutunya baik???
toh masih banyak pengangguran yang bertitel, bahkan yang tamatan dr kampus termahal (swasta)
sebenarnya pemerintah bisa mewujudkan pendidikan gratis!!!
Indonesia kn kaya SDA, dr hasil SDA saja (jk tdk ada praktek korupsi, swastanisasi dan privatisasi tentuny) dapat menyekolahkan putra2 bangsa tanpa pungutan biaya dan dengan kualitas unggul
August 22, 2010 at 9:47 am
Pendidikan murah perlu didukung dengan mengukur kemampuan pemerintah dan masyarakatnya, tapi bukan pendidikan murahan (yang penting dapat ijazah).
Moga saja suatu saat benar-benar ada pendidikan yang benar2 murah buat masyarakat yang tidak mampu.