Voting dan Musyawarah
Mengapa ya orang Indonesia tidak menggunakan voting untuk mengambil keputusan? Tapi menggunakan musyawarah untuk mufakat? Menurut saya kedua cara ini jangan dipertentangkan tapi digabung saja.
Voting itu cara paling gampang mengambil keputusan. Tinggal hitung suara saja. Suara yang terbanyak itu yang harus dijadikan dasar keputusan.
Tapi orang tidak puas. Dia ingin berunding dulu. Saling menggali sudut pandang. saling berunding, dan bernegosiasi. Maka kita memilih untuk bermusyawarah, lalu bermufakat. Aklamasi.
Persoalannya, dinamika sosial menghambat orang menyatakan pendapat yang berbeda. Apalagi melawan pendapat tokoh atau pimpinan. Akibatnya musyawarah untuk mufakat ini sangat rawan penyalahgunaan secara sosial. Orang terpaksa nurut pada siapa yang berusara paling keras. Atau siapa yang menjadi pimpinan.
Saya pikir kedua cara ini harus digabung.
Misalnya, proses pengambilan keputusan dilakukan dalam beberapa tahap sebagai berikut.
- Pimpinan rapat menyampaikan pokok permasalahannya dan menyampaikan usulan solusi / rumusan decision.
- Voting I untuk meminta persetujuan peserta. Kalau semua setuju, maka keputusan langsung diambil tanpa diskusi.
- Kalau ada satu saja tidak setuju, maka diskusi dimulai untk mendengarkan argumen dari yang tidak setuju serta counter argumen dari yang setuju, dan berdiskusi sampai ada kesepakatan atau ketidaksepakatan yang jelas. Pimpinan rapat kemudian merumuskan pilihan-pilihan draft keputusan.
- Voting II untuk meminta persetujuan peserta terhadap rumusan final (atau pemilihan alternatif rumusan terbaik).
Dengan cara ini, rapat lebih bisa desisif. Keputusan bisa lebih cepat diambil. Tanpa mengurangi keuntungan dari suatu musyawarah.
Leave a Comment