Homeless
Bisa saja kita punya rumah, tapi tetap homeless.
Di kota-kota besar mulai banyak orang yang tidur di jalan. Tidak punya rumah. Homeless. Gelandangan.
Penyebab utama adalah kemiskinan. Mereka tidak punya uang. Dan harga tanah dan rumah mahal sekali. Biaya sehari-hari untuk memeliharanya juga mahal. Jadi orang menjadi gelandangan. Tidur di jalan.
Tapi ini juga disebabkan oleh konsep kepemilikan. Bumi milik Tuhan ini kita kapling-kapling, dan kita beri sertifikat. Jadi punya kita, dan orang lain harus bayar.
Padahal seharusnya kehidupan kita ini, dunia ini, adalah rumah kita bersama. Life is our home. Semua orang bersaudara. Keluarga besar.
Kalau kita sudah tidak punya sahabat, teman, keluarga, orang yang menyayangi kita, kita juga sebenarnya homeless. Bisa saja kita punya banyak rumah. Tapi kalau tidak ada isinya, tidak ada sanak keluarga, tidak ada kerabat, maka kita homeless. Kalau kita punya sanak keluarga, tapi sudah tidak saling sapa, tidak saling bicara, ataupun tidak saling mengerti, kita itu homeless.
Sedih ya?
Makanya jangan mau homeless. Kita berusaha menjaga hubungan. Belajar berkomunikasi. Saling memperhatikan. Saling mengucapkan kata-kata yang menyenangkan perasaan orang lain.
Kita memang perlu rumah. Perlu tempat tinggal. Perlu tempat berteduh. Tempat kita hidup.
Tapi kita harus mulai dengan mencari keteduhan hati. Kedamaian hati. Di antara orang-orang yang kita cintai, dan mencintai kita.
Mari kita membuat dunia ini rumah bagi semua. Kehidupan ini adalah rumah tempat kita hidup…
February 14, 2010 at 8:39 am
Betul pak
“House” lebih cendrung ke hal nyata. Misalnya, saya punya rumah di bandung.
Sedangkan “Home”, cendrung yang abstrak. Misalnya, sekolah adalah rumah kedua saya.
Orang yang memiliki House, belum tentu punya Home. Belum tentu House tersebut menjadi “Home” baginya.