Menuju Orde Baru Jilid 2
Dua partai besar (PDI-P dan Golkar) yang seharusnya membangun demokrasi Indonesia malah merapat ke Partai Demokrat (PD). Kalau sudah begini, maka seluruh kekuatan politik bergabung dengan SBY membentuk pemrintahan yang kokoh. Sangat kokoh, sehingga pemerintahan ini sama dengan Orde Baru.
Serunya pertengkaran pada capres kemarin tentang hasil Piplres berakhir anti klimaks. Tidak ada ribut-ribut lagi. Sekarang semua memasuki babak akhir: kabinet. Dan PDI-P konon akan mendapat 4 kursi. Golkar mungkin lebih. Konon Gerindra kebagian juga. Dan PD pun senang menjadi bandar, bagi-bagi kursi kabinet. Karena pada ujungnya kekuasaan ada di tangan bandar. Semua untung. Yang rugi: demokrasi dan rakyat.
Nampak sekarang wajah politik Indonesia yang sebenarnya. Kekuasaan akan diabdikan untuk kemapanan elite politik. Politik Indonesia adalah tempat orang untuk mencari nafkah. Mencari rejeki.
Dalam hal ini, hal politik untuk mencari nafkah, tidak ada partai yang sehebat Golkar. Isinya orang dagang. Politik adalah pengamanan kepentingan bisnis dan dagang. Bahkan proses penentuan siapa pemimpin Golkar diselesaikan dengan cara, ya itu…, dagang. Siapa paling besar memberikan gizi bagi pemilik suara di munas (yaitu DPD) akan mendapatkan suara terbanyak. Konon 1 triliun bakal habis untuk memenangkan kursi ketua umum. Banyak bagi kita, tapi kecil artinya bagi pengamanan kepentingan bisnis bertahun-tahun.
Dan semua sekarang belajar dari Golkar. Golkarisasi. Mengawinkan kemenangan politik dengan urusan duit. Jabatan politik dan kabinet adalah mekanisme untuk memastikan kas partai terisi lagi. Mana bisa berjuang tanpa kas yang besar bukan? PDI-P kewalahan selama jadi oposisi. No more…
Jadi apa yang tersisa untuk kita? Kita perlu undang-undang baru yang memungkinkan partai menggalang dana legal dari masyarakat. Sehingga perkawinan haram politik dan uang negara bisa dihindari menjadi keniscayaan. Ini berat sekali, karena para legislator sendiri berasal dari partai-partai yang sudah meng-golkar, golkarisasi.
Tapi tugas legislasi yang mulia tetap harus dijalankan. Ingat korban-korban tak terhitung banyaknya termasuk 27 Juli 1996, Mei 1998, karena Orde Baru. Demokrasi harus diperjuangkan. Jangan lagi kembali ke Orde Baru. Kalau tidak, mahasiswa akan ngamuk lagi. TNI akan kudeta. Rakyat akan merusuh. Kalau masih tidak mempan, gawat… apa harus datang gempa 9 skala Richter dan tsunami di teluk Jakarta baru sadar?
September 8, 2009 at 8:17 pm
entah kenapa tulisan bapak menggambarkan isi hati saya…terima kasih menuliskannya pak.
September 8, 2009 at 8:38 pm
Demokrasi mungkin terlalu ‘mewah’ untuk kita, 76 milyar cuma untuk pelantikan 1 okt besok, belum lagi rata-rata hampir 4 hari sekali ada pilkada. Jadi kalau yg diperlukan hanya sepeda mengapa harus beli BMW?
September 8, 2009 at 11:31 pm
IMO, oposisi yang dilakukan Golkar dan PDI-P cuma oposisi murahan.
Mengkritik kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM misalnya, padahal mereka juga tidak punya solusi yang lebih baik. Trus mengkritik kasus korupsi yang tebang pilih, padahal secara logika, kl korupsi yang besar tidak diprioritaskan, kepercayaan rakyat tidak akan tumbuh.
Kl oposisinya juga cuma begitu, apa gunanya punya oposisi ?
September 9, 2009 at 5:10 pm
itu berarti partai-partai koalisi saat pilpres kemarin
oleh PD tugasnya dianggap selesai pak, ya.
jadi siap-siap ditendang jauh, hehehe….
October 30, 2009 at 9:51 pm
Apa yang bapak tulis ini saat itu, pada oktober mulai terlihat bahwa analisa tidak meleset. Kasus per kasus menjadi satu kesatuan cerita, dari azahari, century, pemilihan menteri kesahatan yang kontroversial hingga kasus terakhir mengenai kriminalisasi KPK. Seperti bom waktu yang akan meledak.