Hidup Dalam Kelimpahan
Saya merasa hidup kita sekarang penuh berlimpah materi. Pabrik adalah penemuan terbesar abad 20, dimana orang bisa memproduksi begitu banyak benda untuk kita konsumsi.
Memang dari jaman dahulu orang membutuhkan makan, pakaian, perumahan, alat transportasi. Banyak kebutuhan itu harus dia cari, buru, tanam, atau bahkan buat sendiri. Ada yang bisa kita buat, seperti rumah dan benda-benda lain, tapi ada yang tidak bisa. Kita harus tanam atau buru.
Karena itu orang sangat menghargai benda-benda kebutuhan itu. Baik makanan, pakaian, alat transpor, sampai pada pemukiman. Ini tercermin dari mahalnya harga benda-benda tersebut.
Abad lalu mengubah semua itu. Orang menemukan konsep pabrik. Manufaktur. Dari situ berbagai produk bisa dihasilkan dengan berlimpah dan murah.
Awalnya, pabrik dibuat untuk menghasilkan benda, seperti tekstil, pakaian, mesin, kendaraan bermotor, komponen dari berbagai keperluan. Semua itu benda untuk kita gunakan.
Belakangan konsep pabrik ini meluas sampai ke makanan, obat-obatan, minuman. Semua yang kita telan. Semua yang kita konsumsi dihasilkan oleh pabrik.
Saya tidak perlu menaman, berburu, memelihara ternak, membuat mobil. Ada pabrik yang membuatnya. Cukup saya mencari uang, dan uang itu bisa saya tukarkan dengan benda-benda ini.
Kemarin Ina dan saya pergi ke BIP dan BTC. Selain mencari pakaian , kami juga membeli makanan. Sambil melihat-melihat pameran meubel dan juga melintasi showroom mobil. Dan saya tidak habis kagum. Begitu banyak barang-barang yang ditawarkan untuk kita. Semua bagus-bagus. Berlimpah.
Jadi tidak salah lagi. Sekarang kita hidup di tengah-tengah kelimpahan materi. Begitu banyak yag ditawarkan untuk kita sampai saya sudah merasa tidak perlu. Tidak pengen lagi.
Saya berpikir, apa sih sebenarnya kemiskinan itu? Kemiskinan itu bukanlah semata-mata berarti tidak punya uang untuk membeli. Tapi lebih pada tidak punya kemampuan untuk membuat apa yang bisa dijual. Kalau anda tidak punya sesuatu yang laku untuk dijual, baik benda, kemampuan, atau waktu, maka anda miskin.
Oleh sebab itu, untuk berpartisipasi dalam abad kelimpahan ini, kita perlu mengubah paradigma kita. Kita harus berubah, dari penikmat kelimpahan menjadi penghasil kelimpahan.
Leave a Comment