Award

Bangsa kita ternyata senang memberikan award pada orang tua, bahkan yang sudah meninggal. Padahal anak muda yang lebih butuh award.

Dalam minggu ini saya ikut dalam dua proses pemberian award yang berbeda.

Ceritanya, bulan lalu saya dipanggil senior saya yang sangat saya hormati, Rektor di sebuah universitas swasta. “Saya mau calonkan anda mendapatkan sebuah award di bidang teknologi…”, jelasnya. Wah saya tercenung, karena saya merasa tidak layak. Ketuaan. Saya lebih senang kalau adik-adik saya yang mendapatkan award itu. Karena mereka betulan berprestasi di teknologi. Saya selama ini sudah terlalu banyak masuk ke manajemen.

Jadi saya coba bujuk beliau untuk menrima adik-adik saya saja. Saya panggil mereka untuk memasukkan CV dan daftar karya.  Senior saya ini setuju, dengan syarat saya tetap harus memasukkan berkas saya.

Dalam hati sebenarnya saya merasa mereka itu lebih butuh award. Orang seperti saya, setua saya, mendapat kepuasan dari impak kerja saya. Saya punya sumber motivasi sendiri, internal. Kepuasan saya datang dari melihat keberhasilan mereka yang bekerja dengan saya.

Tapi adik-adik saya itu masih muda. Mereka sering tidak dihargai. Mereka bisa lemas karena situasi tidak mendukung. Award seperti itu akan menyemangati mereka.

Lha Rabu kemarin saya dipanggil ke Jakarta. Saya masuk short list enam orang. Semacam finalis begitu. Wah jadi malam-malam saya siapkan presentasi. Ternyata memang rekan-rekan finalis lainnya, beberapa masih muda, usia di bawah saya, sangat istimewa. Tapi ada juga seorang Bapak yang sudah berusia 71 tahun, pendiri pabrik obat di Indonersia. Uangnya sudah triliunan, dan mempekerjakan 21 ribu orang. Wah saya terkagum-kagum, dan menurut saya beliau tentu yang terbaik.

Tapi dalam hati kecil saya mengapa Bapak setua ini masih disuruh berkompetisi ikut award. Pertama apa yang dia hasilkan itu, yang sungguh luar biasa itu, adalah award juga. Malah seharusnya ada award atas nama beliau. Bukan sebaliknya.  Tapi saya tidak complain. Karena terserah panitia, bukan? Dan he definitely deserves to win.

Nah award yang kedua itu adalah award ITB dalam rangka Dies Emas. Saya tidak ikutan yang ini. Saya cuma kebetulan dengar di rapat senat kami pagi tadi, karena saya anggota senat fakultas. Fakultas kami mengusulkan empat nama juga untuk award ITB.

Walah, ternyata yang di Jakarta itu belum apa-apa. Ini lebih hebat lagi. Dari empat nama usulan fakultas kami, satu sudah sangat sepuh dan tiga bahkan sudah meninggal dunia!

Saya jadi tercenung. Mengapa kita cenderung memberikan penghargaan pada orang yang sudah tua, bahkan meninggal? Seharusnya penghargaan itu diberikan setiap hari, saat dia masih muda, saat dia masih hidup.  Itu akan cheer them up. Akan membuat nice surprises dalam hidup mereka.

Memang begitu ya. Kalau orang masih hidup, kita sering melihat kekurangannya. Tidak jarang kita menganggapnya kompetitor, atau bahkan musuh. Kita perlakukan dia tidak nice. Kita lukai hatinya.

Saat ia sudah pensiun, apalagi meninggal, baru semua yang baik-baik kita ucapkan. Barulah semua yang menyenangkan kita sampaikan. Ah it is too late, don’t you think?

Bukannya saya melarang orang memberikan penghargaan pada yang sudah lanjut usia atau yang sudah meninggal. Itu baik juga. They truly deserve our respect.

Cuma saya ingin mengajak kita membiasakan diri menghargai teman kita, rekan sekerja kita, bahkan adik kita itu sekarang juga. Kita harus tetrbiasa beterimakasih pada mereka sekarang juga. Saat ini juga. Hari ini juga. Jangan tunggu saat dia sudah tidak sanggup lagi menikmati rasa terimakasih kita itu.

Saat saya keluar dari ruang rapat senat fakultas tadi, saya janji pada ibu profesor kolega saya di senat, “Kalau ITB nanti memberi award pada saya setelah saya meninggal, saya akan beneran datang menerimanya sendiri ….”


  1. taijutsu

    Saya sepemikiran nih pak.

    Award terhadap yang tua-tua dan berjasa memang diperlukan juga, tapi Bward, Cward atau Reward yang sifatnya lebih kecil perlu juga kepada orang sekeliling kita.
    Perbedaan antara Award dan Reward (or Z-Ward buat yang maniak Z-transform) bilang saja level of indirection-nya dalam meng-encourage orang untuk melakukan hal yang serupa.

    Keduanya sama-sama me-reinforce prestasi dan achievement seseorang, yg moralnya bisa dijadikan model bagi orang lain.
    Hanya saja kalau award itu untuk prestasi yang besar, tidak semua orang bisa mengikuti, dan keinginan orang untuk mengikutinya pun relatif harus melalui jalan yang panjang, tapi memang pengaruhnya luas dan menjangkau banyak lapisan.
    Kalau reward itu untuk prestasi-prestasi relatif kecil tapi berperan meng-encourage orang utk lebih produktif, menyehatkan suasana kerja, menularkan semangat, merangsang kompetisi yang sehat (ini bukan ceramah atau creative writing ya)

    Reward ini tidak perlu materi, tapi bisa cukup pengakuan hasil/prestasi/etos kerja, kadang sekedar pernyataan yang sifatnya meng-acknowledge prestasi teman, bawahan, etc, sangat efektif.

    Dari pengalaman sih, kadang saya temukan suasana kerja yang kurang kondusif karena ada yang kurang dapat reward tetapi lebih banyak dapat kritik, walaupun sifatnya sama-sama untuk membangun tapi tiap orang punya attitude yang berbeda dalam menerima kritik, dan kritik harus diberikan secara proporsional dengan reward.

    Atau kondisi dimana ada orang yang standout di lingkungan yang mediocre tapi yang stand out ini (walau lebih banyak punya peran dalam mensukseskan sebuah task atau pekerjaan) merasa disamaratakan dengan yang lain. Kecuali dia sudah mencapai Dan 8 dalam Togakure-ryu Ninpo, dia akan ikut2an menurunkan produktivitasnya jika kekurangan reward.

    Jadi, reward berperan untuk menjadikan kita dan lingkungan kerja kita lebih produktif/berprestasi.

    Kita sering diceramahin “bentuk manusia ideal” dimana kerja harus tanpa pamrih, harus bisa mendaki gunung, menyebrangi lautan, menangkap kelinci atau mengebiri banteng. Tapi kurang diajarkan bagaimana menjadi manusia realistis yang menguasai teknik “how to get things done”. Dari kita kecil, penekanannya harus digeser ke contoh orang yang bisa bangun jembatan, menyelesaikan tugas-tugas kecilnya sampai tugas besarnya rampung. Lebih pragmatis dikit tak apalah.

    Tidak semua orang bisa menjadi ninja.

  2. andriyan

    Di jaman pejabat memberi Award kepada pejabat yang lebih tinggi, senior Pak Armein berani menentang arus dengan memberi penghargaan ke junior-nya. Angkat topi untuk beliau Pak !

  3. gong-nya yg terakhir itu mengena banget pak … hehehe 🙂

  4. betul Pak Oemar Bakrie, gong terakhir mengena sekali…. Nanti datang secara virtual pakai teknologi seluler 10G Pak!

  5. a ward itu masih ambigu Pak. apakah a ward diberikan karena for ward atau justru karena back ward. 😀

    ide Pak armein untuk memberikan award bagi yang masih muda tampaknya lebih bertujuan untuk for ward. 🙂

    salut untuk Pak Armein!

  6. betul juga sih. Di USA, tempat saya sekarang berada, lulus SMA saja sudah banyak sekali award nya. Bahkan, tidak pernah absen pun, diberi piagam absen 100%.




Leave a reply to khairulu Cancel reply