Suffering in Life
Sebagian besar kesusahan manusia, penderitaan manusia datang dari pikiran. Dan hampir semua itu berawal dari konsep scarcity, serba kekurangan.
Kemarin sore saya melihat wawancara seorang ibu yang mau menjual rumahnya seharga $140 juta. Lebih besar dari White House. Ia kaya raya. Sejak suaminya meninggal ia mau pindah ke condominium yang lebih kecil, seharga $45 juta.
Tapi terungkap juga betapa ibu ini bertengkar dengan putrinya. Bertahun-tahun tidak saling menyapa. Rupanya sekaya apapun orang, tetap saja menderita berbagai kesusahan.
Kebanyakan penderitaan datang karena kebodohan kita. Kita bertindak tanpa pengetahuan. Kita menetapkan standar yang tinggi, dan kita sendiri tidak bisa mencapainya. Dan kita menderita karenanya.
Konsep dunia saat ini adalah, segala sesuatu yang berharga itu jarang ada, dikenal dengan nama scarcity. Sesuatu baru bernilai tinggi kalau jarang ada. Dan kita kemudian berebut. Berkompetisi untuk mendapatkannya. Namanya juga kompetisi. Pasti hanya satu pemenang, dan sisanya kalah. Maka banyaklah penderitaan di mana-mana.
Sebenarnya ada konsep tandingan scarcity, yakni abundance. Berkelimpahan.
Tapi pendukung konsep scarcity selalu mengatakan apapun yang berlimpah pasti tidak bernilai. Dan orang kembali menekun konsep scarcity itu. Meskipun kompetisi berhasil meningkatkan kualitas dan kuantitas barang, serta affordability nya, tapi tetap saja banyak orang miskin, orang susah, dan orang menderita.
Karena esensi dari kompetisi adalah hanya sedikit pemenang. Tidak heran berlaku proporsi Parreto. Selalu ada 20% orang berhasil dan 80% gagal. Selalu ada 20% orang elit dan 80% orang kebanyakan.
Saya pikir yang pertamakali harus dibenahi adalah mind-setting. Mental setting. Mengubah dari mentalitas scarcity menjadi abundance. Dari kekurangan menjadi kelimpahan.
Saat ini berkembang ekonomi baru, ekonomi kelimpahan, ekonomi komunitas. sebagai contoh, produk opensource yang berlimpah itu mulai masuk menggantikan produk proprietary yang scarce. Acara talent scouting seperti American Idol membuat stok bakat melimpah. Community based economy membuat nilai bergeser semakin banyak ke users. Ekonomi Internet membuat komunitas menghasilkan nilai, bukan lagi elit-elit tertentu.
Dalam kompetisi, anda tidak bebas menjadi diri sendiri. Anda harus ikut dinamika kompetisi. Anda harus nurut apa kata orang lain. Dan inilah sumber segala macam penyakit, sumber segala macam kesusahan. Anda harus senang menghidupi keinginan orang lain. Standar orang lain.
Dalam kelimpahan, semua bisa menjadi yang terbaik dalam berbagai kategori. Bahkan anda bisa membuat kategori sendiri, kategori baru, di mana anda menjadi yang terbaik di situ.
Penderitaan manusia kebanyakan datang dari pikirannya. Oleh sebab itu, mentalitas yang pertama kali harus dibereskan. Dan alangkah happynya saya saat saya bisa melepaskan diri dari proyeksi orang lain, membentuk kategori sendiri. Menjadi gue banget…
April 20, 2009 at 4:30 pm
Ya, ayo kita bangun community based digital learning…
(PR-nya belum dibuat Pak… 🙂 )