Karir dan Profesionalisme
Bagaimana kita membangun karir? Ada banyak pandangan yang melihat pengembangan karir sebagai pengembangan jabatan dalam suatu institusi. Saya melihat tidak selalu begitu. Karir itu melekat pada diri kita. Seperti pemain bola profesional, yang bisa mengembangkan karir dari satu club ke club lain.
Pegawai negeri itu menetap pada institusi pemerintah. Dari masuk pada usia muda sampai pensiun ia terus bekerja pada negara. Karirnya menanjak. Kalau dia keluar dari pegawai negeri, dia harus menapak karir lagi dari bawah. Karir itu nempel pada institusi ini. Orang yang pindah-pindah dianggap tidak profesional.
Oleh sebab itu pegawai negeri takut berbuat salah. Takut mengambil banyak resiko. Tidak perlu banyak inisiatif. Yang penting patuh aturan dan tidak melanggar. Karena keamanan kerja penting sekali. Nanti kalau karir selamat, kita bisa pensiun dan menikmati hari tua.
Tapi tidak harus selalu begitu. Banyak pegawai yang bagus-bagus dibajak perusahaan lain. Manager yang bagus diburu untuk diajak pindah. Direktur yang bagus dibujuk untuk menjadi CEO pada perusaahan lain. Dan mereka ini tidak disuruh menapak karir dari bawah. Tidak jarang, mereka justru mendapat promosi di tempat kerja yang baru. Karir itu nempel pada dirinya. Jadi profesionalisme kita yang menjadi karir kita. Profesi kita itulah karir, bukan di mana kita bekerja.
Dan yang lebih drastis lagi adalah wirausaha atau entreprenur. Dia bahkan sengaja “menghancurkan” karir nya dengan memulai dari nol lagi. Kesenangannya justru bertualang mencoba ide baru. Mencoba membangun institusi baru. Tidak ada istilah karir baginya. Di matanya mengembangkan karir itu hanya bagi mereka yang bermental pegawai atau karyawan.
Walaupun saya tidak seekstrim entrepeneur ini, saya punya pandangan bahwa karir menempel pada orang. Apa yang dia lakukan. Stratgi apa yang dia kembangkan. Sikap apa yang dia bangun. Jadi bukan soal kerja di institusi mana, tapi lebih pada kemauannya untuk serius menekuni tugas di hadapannya, sambil berjuang memecahkan masalah. Lebih pada usaha membalikkan keadaan, dari rugi menjadi untung, dari mundur menjadi maju, dan kecil menjadi besar.
Maksud saya, di manapun kita bekerja, selama kita terus mengembangkan diri, terus belajar mengatasi masalah, maka kita sudah mengembangkan karir.
Saya punya seorang kenalan yang berhasil membujuk puteranya untuk keluar dari sebuah perusahaan optik. Anaknya sudah sarjana arsitektur, tapi punya hobi dekorasi. Jadi tugas dia adalah keliling cabang-cabang optik ini untuk menata dekorasi toko. Gaji sudah cukup lumayan. Tapi ayahnya menyuruhnya berpikir, hitung berapa gaji yang diperlukan kalau dia sudah berkeluarga. Kemudian lihat apakah karirnya akan menanjak di situ. Anak ini kemudian menyadari ada piramida dalam perusahan itu. Artinya semakin ke atas semakin sedikit jatah jabatan. Jadi sampai kapan juga kecil kemungkinan dia bisa sampai ke situ. sekarang anak ini membuka perusahaan biro arsitek di Bandung, dan dia menjadi direktur utama. Kerja sangat sibuk, tapi senang karena ini perusahaan milik sendiri.
Kita tidak perlu se-ekstrim kenalan saya ini pada anak kita. Mana tahu anak kita memang menyenangi pekerjaannya. Happy dengan kerjaannya itu. Tapi tentu kita perlu memberikan pandangan atas pilihan-pilihan yang ada. Pendidikan bangsa kita itu memang mengarahkan anak-anak untuk menjadi pegawai. Bingung dengan lapangan kerja. Tapi tidak semua begitu bukan. Mereka yang berjiwa profesional dan entrepreneurship itu bisa menganggap keseluruhan hidup ini sebagai karirnya.
March 21, 2009 at 10:15 am
Ketika kita makin melepaskan keterikatan, kita makin mampu berkembang.
Setuju sekali pak, karir itu menempel pd diri kita.
March 23, 2009 at 12:24 pm
Makasih pak Armein….
I will memorize it 🙂
March 25, 2009 at 4:45 pm
Terima kasih Pak,
Tulisan ini menguatkan saya…