Governing from the Strength
Secara mengejutkan Obama menawarkan jabatan Secretary of State (semacam menteri luar negeri) kepada saingan terberatnya, Hillary Clinton. Secretary of State itu adalah jabatan tertinggi dan paling bergengsi di kabinet. Ini memperlihatkan betapa Obama tidak takut memiliki tim dengan kepribadian-kepribadian yang kuat.
Konon Jabatan resmi tertinggi eksekutif di AS itu ada tiga: Presiden (Barack Obama), Wapres (Joe Bilden), dan Secretary of State. AS terdiri dari negara-negara bagian (state). Maka Secretary of State itu semacam orang yang mewakili seluruh state agar memiliki satu kebijakan luar negeri. Secretary of State itu semacam wajah AS di dunia.
Memang ada Kepala Staf Presiden, Emmanuel Rahm, yang juga sangat powerful. Tapi itu lebih merupakan pembantu presiden, semacam staf yang mengkoordinasi seluruh mesin pemerintahan dan politik presiden.
Penunjukan Clinton ini mengejutkan karena Clinton itu lawan Obama yang paling sengit. Clinton bukan orang sembarangan. Dan bukan orang yang mudah untuk nurut dan patuh.
Tapi rupanya Obama merasa tugas pemerintah itu terlalu berat untuk dijalaninya sendiri. Ia butuh orang-orang yang kuat. Jadi ia mengambil resiko, merekrut anak buah yang “tidak bisa dipecat”.
Analis semacam Gloria Borger menyimpulkan bahwa Obama memilih untuk memimpin melalui kekuatan. Dengan mengendalikan kekuatan. Sanggup punya anak buah yang tidak selalu sepaham dengannya. Sanggup punya anak buah yang berani bertengkar dengannya. Sanggup menjadi pemimpin dari pemimpin. Kepemimpinan kolektif.
Bandingkan misalnya dengan orang kuat Indonesia, macam Soeharto. Atau Megawati, Gus Dur, dan SBY. Mereka cenderung memilih anak buah yang nanti bisa comfortable bekerja. Mereka cenderung memilih pembantu yang yesmen, loyalitas pribadi yang mutlak. Kasarnya, mereka ingin punya anak buah yang lemah dan penakut (tapi terkadang kejam luar biasa pada orang yang dalam posisi lemah). Tiga puluh lima tahun di tangan Suharto, bangsa Indonesia yang tadinya adalah bangsa pejuang berubah menjadi bangsa lemah (soft nations).
Kita juga, kalau mau jujur, cenderung begitu. Cenderung ingin punya pengikut. Ingin jadi penguasa tunggal. Kayak pemimpin spiritualitas yang harus dipatuhi mutlak. Tidak tahan kritik. Tidak senang debat sengit tapi jujur.
Itu, menurut Borger, kepemimpinan melalui kelemahan. Memimpin dengan mengeksploitasi kelemahan orang. Memimpin dengan menakut-nakuti.
Saya rasa suatu bangsa akan jaya kalau pemimpinnya sanggup memobilisasi orang-orang berkepribadian kuat, pemberani, di antara bangsanya. Ia pemimpin yang mampu mengubah loyalitas anak buah dari loyalitas kepadanya pribadi kepada loyalitas kepada kepentingan luhur bangsanya.
Itu yang gagal terjadi selepas reformasi. Habibie, Amien Rais, Gus Dur, Megawati, Sultan Hamengkubuwono, gagal menjalankan kepemimpinan nasional dalam menghantarkan transisi dari bangsa lemah (soft nation) di zaman Suharto. Mereka balik menyerang satu sama lain, mencoba menjadi penguasa tunggal di saat bangsa majemuk ini membutuhkan kepemimpinan kolektif.
Pemilu 2009 mengisyaratkan ketiadaan pemenang mayoritas. Tidak ada pemenang mutlak. Oleh sebab itu bangsa Indonesia perlu lebih dari satu pemimpin yang kuat. Yang mampu menuntun bangsa ini secara kolektif, untuk menghantarkannya pada kejayaan. Pemimpin dari pemimpin.
November 20, 2008 at 6:59 pm
Halo, Pa’ Armein….. Katanya papa, artikelnya bagus….
Menginspirasi..!
November 20, 2008 at 9:33 pm
He he he … pedes banget pak …
November 21, 2008 at 7:02 am
@Lingkan: apa kabar? salam untuk semua di Manado.
November 26, 2008 at 10:58 am
wah, artikel yang bagus, Pak! ^^ Yep, sekarang waktunya mencari solusi dengan menggabungkan kekuatan, bukan dengan saling menjatuhkan 😀 semoga pemimpin2 Indonesia bisa terbuka pikirannya.