Rangkaian Tiga Mawar Merah
Mikhail duduk termenung di halaman sekolah. “Mikhail, ayo kita main…”, ajak teman-temannya. Ia menggeleng. Hari ini ulang tahun mamanya. “Kali ini kado dariku harus istimewa”, pikirnya, “Untuk mama tersayang. Kado yang bisa mengungkapkan betapa besar cintaku kepada mama.”
Mikhail masih berusia enam tahun. Tiap hari ibunya mengantar dan menjemputnya dari sekolah. Padahal ibunya sangat sibuk, mengurus Mikhail dan kakak-kakaknya. Mengurus semua keperluan rumah.
“Ah aku tahu..”, tiba-tiba Mikhail mengangkat kepalanya. “Mawar merah… mawar merah untuk mama. Ia pasti senang..”
Mata Mikhail berbinar.
Tapi kemudian meredup. “Uang dari mana?”
Bel berbunyi, dan Mikhail melangkah ke kelas dengan kepala terunduk.
**
Mikhail berjalan ke luar kelas. Pelajaran hari ini sudah usai. Tapi ia harus menunggu sejam, sebelum ibunya menjemputnya. Mikhail menendang-nendang pasir di halaman sambil berjalan menuju tangga rindang untuk duduk menunggu. Tiba-tiba matanya terbelalak. Ada sebuah uang logam besar. Mikhail tidak tahu berapa nilai uang ini. Tapi ia tahu uang bisa dipakai untuk membeli.
Setelah menitipkan ranselnya di pos satpam, Mikhail bergegas berlari ke luar halaman. Ia lari melewati kantor, pompa bensin, dan .. pasar kembang! Sekolah Mikhail dekat dengan pasar kembang.
Di kios yang pertama ia melihat karangan bunga mawar. Ia menunjukkan uangnya. Tapi penjaga kios hanya menggeleng. “Tidak cukup, dik”. Ia pergi ke kios sebelah, dan matanya cepat sekali menemukan karangan bunga mawar. Tapi kembali penjaga hanya menggeleng, “Uangmu tidak cukup…”
Mikhail mulai kecewa. Tapi mungkin ia bisa membeli bunga mawar dan merangkaikannya sendiri. Maka ia pergi ke kios yang paling belakang. Di sana ada kios mawar, yang belum dirangkai. Mikhail terbelalak. Begitu indah mawar-mawar ini. Semua seperti menyalaminya. Semua seperti berbicara. Mereka bernyanyi. Merdu.
Pak Hasan, pemilik kios sudah lanjut usia. Ia sedang sibuk menata mawar ketika ia menyadari ada Mikhail. “Nak, sedang apa kamu di sini? Tidak sekolah?”
“Pak saya ingin membeli mawar,” Mikhail kemudian menunjukkan uangnya, “Tapi uang saya cuma ini, bisa dapat yang mana?”
Mana cukup? Pak Hasan nyaris terbahak. “Untuk apa mawar itu, nak?” tanyanya menahan tawa. Dan untuk apa anak kecil membeli mawar?
“Hari ini, mama ulang tahun”, jelas Mikhail, “Aku ingin mawar yang bisa berbicara bahwa aku sangat mencintainya, dan sangat berterimakasih sudah mengurusiku setiap hari”
Pak Hasan tertegun kaget, dan menyelidik, “Apa katamu, mawar yang bisa berbicara?”
“Ia..semua mawar ini berbicara dan bernyanyi.”, jelas Mikhail dengan polos kemudian mulai menujuk mawar-mawar itu satu persatu, “ Yang ini mengatakan aku sayang padamu. Yang itu mengatakan aku temanmu selalu. Yang ini mengatakan semoga umurmu akan panjang. Yang itu mengatakan engkau akan berhasil…”
Pak Hasan membelalak dan terdiam memandang Mikhail. Tiba-tiba matanya terangkat dan ia ingat sesuatu. “Tunggu sebentar…, jangan ke mana-mana…”. Ia bergegas ke belakang, kemudian muncul lagi membawa rangkaian tiga tangkai mawar merah.
Wajah Mikhail bersinar, “Betul, yang ini…! Mawar-mawar ini mengatakan aku sangat sayang padamu, dan terimakasih sudah mengurusi aku setiap hari…”
Mendadak Mikhail ragu-ragu, “Apakah uang saya ini cukup?”
“Cukup, uangmu cukup,” Pak Hasan memberikan mawar itu dan menerima uang logam itu. “Berikan ini untuk ibumu. Dan setiap hari engkau bisa ke sini untuk belajar merawat mawar”
Mikhail senang sekali, “Benarkah? Terimakasih. Aku akan ke sini setiap hari..”
Iapun lari kembali ke sekolahnya. Melewati pompa bensin, dan kantor, langsung menuju pos satpam. “Mama pasti senang sekali!”
**
Ibu Hasan tersenyum sendiri, sambil membersihkan mawar. Mimpi Pak Hasan sungguh aneh. Ia mimpi diminta menyiapkan tiga tangkai mawar dan dirangkai seindah mungkin. Kemudian rangkaian mawarnya dilombakan dan menjadi juara. Ia mendapatkan pujian, “Engkau sungguh setia merangkai mawar yang sangat indah untuk kebahagiaan banyak orang. Terimalah hadiah ini…” Ia mendapatkan medali yang berkilau.
Mimpi itu begitu kuat, sehingga pak Hasan merasa ini adalah perintah untuknya untuk menyiapkan tiga mawar merah yang terbaik. Jadi bu Hasan pagi-pagi sekali sudah mulai memilih mawar yang terbaik dan membersihkannya dengan hati-hati.
Melihat mawar-mawar merah itu, pikiran bu Hasan melayang jauh, saat mereka masih muda. Ah pak Hasan itu mampu merebut hatinya. Dengan mawar seperti ini. Rangkaian mawar itu berhasil mengucapkan isi hati pak Hasan. Berhasil meyakinkannya betapa pak Hasan mencintainya. Dan pak Hasan sungguh berbakat luar biasa dalam memelihara mawar. Ia sangat mengenal mawar-mawar. Dan mawar-mawar itu seperti sangat senang dirawat pak Hasan. Betapa bahagianya hidupnya bersama pak Hasan.
Cuma ada sesuatu yang menggundahkan hati mereka. Usia mereka sudah lanjut, tapi tidak dikaruniai keturunan. Mereka sangat rindu akan anak, cucu, yang nanti bisa diajarkan untuk merawat mawar. Mewariskan semua yang mereka tahu tentang mawar. Setiap hari mereka berdoa untuk itu. Tapi rupanya Ia tidak berkenan. Kini usia mereka sudah terlalu lanjut.
“Ahh, tidak apa-apa,” bu Hasan menggeleng kecil membuyarkan kegundahan hati sambil membereskan rangkaiannya, “aku sudah sangat berbahagia dengannya..”
**
“Pak, mana mawar-mawar tadi?” Bu Hasan masuk dari belakang, sambil heran melihat Pak Hasan termenung.
“Sudah ku jual pada anak itu,” jawab pak Hasan. “Ia ingin memberikannya kepada ibunya yang berulang tahun”
“Tapi Pak, bukannya mawar-mawar itu tidak untuk dijual?” tanya Bu Hasan heran.
“Bu, anak itu mengingatkan aku dulu saat masih kecil”, kenang pak Hasan, “Dulu aku ingin memberi mawar untuk ibuku, tapi aku tidak punya uang dan tidak ada yang menolongku”
“Dan anak itu bisa mendengar mawar berbicara,” bisik pak Hasan, “Persis seperti aku…”
Bu Hasan termangu. Ada nada takjub. Ada nada kebahagiaan di suara suaminya. Dan ia tahu, betapa hati ibu anak itu akan tersentuh melihat ketiga mawar yang dirangkainya itu. Ia akan tahu betapa anaknya sungguh mencintainya. Seperti yang ia rasakan dulu. Bu Hasan tersenyum dan terharu.
“Anak itu berjanji akan sering ke sini,” kata pak Hasan semakin ceria. “Kita bisa mengajarkan semua yang kita tahu tentang mawar padanya…”
Mereka berdua saling pandang, heran, takjub, dan bertanya-tanya. Inikah jawaban doa mereka selama ini? Tiba-tiba mereka terbelalak melihat uang logam ditangan pak Hasan. Berkilau-kilau seperti medali…
(Ini cerpen saya yang kedua. Semoga anda suka..)
November 9, 2008 at 8:23 am
Jangan-jangan cerpen ini based on true story ya pak?
November 9, 2008 at 1:06 pm
Bagus Pak, cuma di bagian yang dimulai dari “Ibu Hasan tersenyum sendiri, sambil membersihkan mawar.. dst” awalnya sedikit membingungkan he.he.
November 10, 2008 at 5:09 pm
Bagus banget, Pak.. mengharukan.. =’)