Memikul Beban Underperformers
Suatu saat saya kedatangan seorang ibu bule dari Kanada di ITB. Di bawa sobat saya Budi Rahardjo. Ibu ini pernah menjaid host familynya Budi di sana. Setelah berhari-hari mengamati mantan anakasuhnya itu, ibu ini mencela: “Budi, kamu terlalu sibuk. Sibuk mengerjakan pekerjaan yang harusnya diselesaikan orang lain…” Wah saya pikir, itu penyakit kita hari ini. Banyak orang yang tidak perform, underperforming. Akibatnya kita mengambil alihnya, dan menjadi beban yang berat.
Ibaratnya kalau WC tidak bersih, kita turun tangan menyikatnya. Penerima tamu kurang sip, kita turun tangan jadi penerima tamu. Proposal kurang bagus, kita turun tangan menuliskannya. Marketing kurang memuaskan, kita turun tangan jualan. Program banyak bugs, kita turun tangan mengkode. Produk kurang inovatif, kita turun tangan mendesain sendiri. Keuangan kurang lancar, kita talangi sendiri. Laporan kurang menggigit, kita tulis sendiri.
Kita sering kayak gitu. Kecewa dengan kinerja orang, kemudian, ya sudah, kita ambil alih. Akibatnya beban kita terlalu berat. Stress. Jengkel.
Menurut saya kita harus belajar untuk mengijinkan orang lain bekerja dan menghasilkan karya semampu mereka. Kita boleh menetapkan standar yang tinggi, tapi at the end kita harus belajar menerima realitas. Ada sesuatu yang berada di luar kemampuan kita, atau di luar wewenang kita.
Seandainyapun kita tahu cara mengerjakannya, kita harus belajar membimbing orang yang harus melakukannya. Agar ia bisa menjadi pintar.
Seperti sebuah doa: “Ya Tuhan, beri padaku ketenangan dan keikhlasan untuk menerima apa yang saya tidak bisa ubah, beri padaku keberanian dan ketabahan untuk mengubah hal yang saya mampu, dan beri daku hikmat dan kebijaksanaan untuk mampu membedakan keduanya…”
October 20, 2008 at 10:12 pm
Ternyata masih banyak yang harus dipelajari ya pak…
October 21, 2008 at 7:37 am
yang dimaksud ibu, yang memikul beban underperform itu pa budi kan? bukan pa armein?
pa budinya koq adem2 aja? 😀
ya membimbing orang agar bisa perform spt yang kita harapkan lebih capek daripada kalo kita kerjakan sendiri..
makanya masih banyak ibu2 yang dari mulai menyuapi anak2nya sampai dengan mengerjakan pr-pr anak2nya 🙂
(aku sih ga..)
October 21, 2008 at 9:04 pm
Membimbing orang lain, sebetulnya adalah bentuk delegasi wewenang, serta juga mendidik orang lain untuk bisa kkerja baik. Memang terkadang gemes, kalau yang disuruh “lelet”. tapi kalau kita kerjakan lagi, maka kita tak mendidik orang lain untuk bisa…ini juga latihan untuk alih generasi.
Saat saya mengeluh, seorang teman bilang..”Coba ingat-ingat, waktu pengalaman kerjamu seperti mereka, apakah pemahamanmu juga sudah seperti mereka?” Teman ini benar, kadang kita memposisikan kemampuan kita pada diri mereka…seharusnya kita bisa melihat dari sisi mereka.
October 21, 2008 at 11:55 pm
But some people are simply bloody lazy and below the par. Mekanisme penerimaan harus menitikberatkan ama kemampuan dan sikap belajar dan bekerja, biar gak dapetnya orang-orang tipe brain-damaged (from sh!ts like alcohol and lucha libre), poser, dan kayak cantinfla (bla bla cuih cuih, zero, zilch, nada).
October 22, 2008 at 12:47 am
“Ya Tuhan, beri padaku ketenangan dan keikhlasan untuk menerima apa yang saya tidak bisa ubah, beri padaku keberanian dan ketabahan untuk mengubah hal yang saya mampu, dan beri daku hikmat dan kebijaksanaan untuk mampu membedakan keduanya…” (azrl)
Amiiiin