Kerja di Google atau Microsoft?
“Pa, kenapa papa tidak kerja di Microsoft..?”, tanya Gladys tadi malam saat kami sekeluarga makan bakmi di Toko You, seberang RS Borromeus. Saya tersenyum, sambil mencoba mencari jawaban yang tepat. Mengapa saya memilih kerja di ITB, bukan di Microsoft atau bahkan Google, misalnya?
Saya pikir saya mengerti mengapa ia bertanya seperti itu. Teman sekelasnya sekarang kuliah di Vancouver, Canada. Dan dia bisa sekolah di situ karena ayahnya kerja di Microsoft, dan mendapat tugas di Vancouver. Jalan pikiran dia, Gladys jadi kuliah di Bandung, karena ayahnya kebetulan kerja di Bandung.
Gladys tidak tahu, sebetulnya di tahun 1990an akhir, saat krisis ekonomi melanda Indonesia, saya sudah mulai berpikir untuk pindah. Kerusuhan di mana-mana. Dan tentu Silicon Valley adalah salah satu tempat ideal.
Oleh sebab itu saya memutuskan untuk tinggal sementara di Silicon Valley sekitar enam bulan di tahun 2000-2001, sekalian sabbatical di Stanford University. Untuk mendapat feeling nya. Saya beruntung, berada di sana saat puncak dari kehebohan dot.com. Saya bisa menyaksikan sendiri apa itu real silicon valley dan fake silicon valley. Di penghujung masa tinggal saya di sana, saya banyak merenung. Apakah saya akan menghabiskan masa hidup produktif saya di tempat yang sudah matang seperti silicon valley, atau kita mulai di new frontier, Asia Timur, dan mulai dengan Bandung High Tech Valley. Mau kerja jadi pegawai Google, atau membuat sebuah start-up, sebuah Google?
Saya kira Steve Jobs, Michael Dell, Bill Gates, Jeff Bezzos, Larry Page, Sergei Brin dan lain-lain tidak pernah berminat melamar kerja di perusahaan manapun. Mereka ingin membuat organisasi dimana banyak orang berminat untuk melamar di sana.
Ah, hidup itu tentang pilihan. Jadi saya kembali ke kampus terbaik di Indonesia, ITB, dan mencoba belajar untuk membangun organisasi yang atraktif bagi orang lain. Lebih baik saya mengajak mahasiswa saya yang pintar-pintar itu dan mendorong mereka untuk membangun semacam Microsoft atau Google, versi Indonesia.
Jadi, mengapa papa tidak kerja di Microsoft? OK, Gladys, Microsoft is a great company to work with, and I have good friends there. Tapi mungkin karena papa tidak akan bisa menjadi pegawai Microsoft yang baik. I am more useful with my students. And I still can see you all grow up everyday.
July 31, 2008 at 12:51 pm
Mantabs…
Gladys dan ITB beruntung memiliki Pak Armein.
Mahasiswa ITB sangat beruntung punya dosen spt Bapak.
July 31, 2008 at 1:25 pm
wow, ko bisa pa mikir kaya gitu, hebat2..
July 31, 2008 at 2:31 pm
terkadang saya juga suka berkhayal, pak.
seandainya semua dosen dan mahasiswa ITB punya paradigma berpikir kaya’ gitu…
July 31, 2008 at 6:00 pm
@all: wah thanks for those nice comments. Jadi malu nih, maksudnya bukan begitu.
July 31, 2008 at 9:42 pm
Waktu saya selesai S3 teman2 tanya what’s next? Satu2nya yg bisa saya banggakan waktu itu adalah saya sudah punya pekerjaan di ITB. Mereka umumnya masih harus cari2 kerja setelah lulus. Untungnya mereka tidak tanya berapa gaji saya …
July 31, 2008 at 11:35 pm
Waw… hidup memang pilihan… hebat pak
August 1, 2008 at 7:21 pm
Saya ingin bantu mendirikan silicon valley Indonesia, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Soalnya, rencana-rencana/strategi pembangunan teknologi Indonesia tidak pernah dipublikasikan si (atau dipublikasikan tapi saya tidak tahu dimana?).
Jadi, susah untuk berpartisipasi bagi pihak-pihak lain.
August 5, 2008 at 3:51 pm
Menurut saya, seharusny Bapak kerja d microsoft atau Google dahulu selama beberapa tahun.. Keuntunganny:
1. Anda memperoleh kesempatan mempelajari bagaimana 2 raksasa itu dpt bertumbuh..
2. Anda memperoleh mitra yg sepaham dgn Anda untk membuat suatu perusahaan raksasa baru..
3. Anda memperoleh gaji yg besar dan dpt d pakai untuk modal Anda membangun yg lbh dr mrk..
Karena, bila Anda hanya berkutat d dlm ITB, Pengetahuan Anda tidak bertambah secara maximal.. Seseorang dpt maju krn berani mencoba.. Bkn melepas kesempatan.. Mohon maaf bila berkesan menggurui, tp pandangan saya seperti demikian.. Mohon d tanggapi..
August 5, 2008 at 6:12 pm
@HM: Pertama, belum tentu saya bisa diterima kerja di Google atau Microsoft. Karena itu soal kecocokan. Dan mereka tidak merekrut calon entrepreneur. Mereka merekrut karyawan ahli untuk kerja siang-malam sebagai pegawai. Orang seperti saya meskipun punya PhD mungkin tidak akan perform dengan baik, kecuali di R&D nya.
Kedua, hipotesisnya (bahwa entrepreneur besar kerja dulu di perusahaan besar) kurang didukung realitas. Praktis saya belum punya contoh. Saya bisa salah, tapi semua entreprenur yang saya kenal tidak melalui rute yang anda sarankan.
Ketiga, yang sering terjadi, orang yang kerja lama dan mendapat gaji tinggi justru cenderung membina karirnya sebagai profesional sampai pensiun. Karena dia sudah invest banyak di skill dan pengetahuan, dia tidak berani keluar.
August 5, 2008 at 10:58 pm
Ha3, itu memang ide saya sepintas.. Sepersekian detik setelah membaca artikle tsb.. Mgkn krn saya sangat ingin bekerja d Google, jd saya menyayangkan Anda melepas kesempatan itu.. Walau saya baru mau masuk kuliah.. Ha3.. Saya belum meneliti lbh dalam mengenai jejak entrepleneur tsb, yg saya tau, kakak saya dpt maju krn memperoleh pengalaman dr tempat kerja sebelumny.. Dan terus beranjak karirny.. Sedangkan tokoh yg saya tau maju krn pengalaman org adalah Abraham Lincoln yg sejak kecil gemar membaca riwayat hdup presiden2 amerika.. Hingga ia dpt menjadi presiden juga.. Mgkn ada yg salah dgn cr pikir saya (atau banyak).. Mohon dikoreksi.. Kalau boleh tau, apakah impian Anda sehingga Anda mengejar study sampai k S3? Terima kasih..
August 6, 2008 at 4:59 pm
@HM: Ya betul, dengan bekerja tekun karir kita akan maju. Memang kalau kita ingin karir maju, rutenya menjadi employee. Wah kalau ingin kerja di Google, tentu itu baik, harus dikejar. Entepreneur besar itu agak lain, dia mendirikan “Google” baru. Sebenarnya ada karyawan Google yang keluar mendirikan Cuil ya? Cuma Cuil belum bisa dikategorikan besar. Tentang S3? Ada ditulis di posting tentang journey di blog ini:-)
August 8, 2008 at 11:05 am
Trima kasih atas pengetahuanny, saya sudah baca yg journey.. Mengharukan.. T.T Saya jd teringat alasan saya dpt tetap hdup hingga saat ini.. Tuhan itu begitu baik.. Saya menginggalkan comment jd d journey (6).. He3.. 🙂
January 22, 2010 at 3:08 pm
Saya setuju sama bapak…Emang hidup tuh pilihan…Antara kerja di perusahaan besar atau kerja membangun perusahaan besar…Kapan ya di Indonesia ada perusahaan sekelas Google atau Microsoft.???
May 11, 2010 at 11:06 pm
Jika pondasi kita sudah kokoh untuk jadi pengusaha saya rasa baruralah ideal untuk meninggalkan status karywan…
January 11, 2011 at 9:26 pm
terharu…
February 28, 2011 at 9:42 pm
Tulisan ini telah membuat sebuat keputusan besar dalam hidup saya Pak. Beberapa minggu lalu saya baru saja diterima untuk mengikuti program training di Microsoft Indonesia melalui fast track program (semacam ODP kalau di Bank) dan kemudian akan bekerja sebagai developer diperusahaan tersebut.
Tapi satu minggu sebelum saya menandatangani kontrak, saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes tahap akhir untuk menjadi guru dipelosok negeri melalui yayasan Indonesia Mengajar. Namun dalam satu kondisi memaksa saya harus membuat sebuah keputusan. Microsoft yang sudah pasti atau Indonesia Mengajar yang masih pada tahap akhir. Dan tidak sengaja saya menemukan tulisan ini di google, dan setelah saya membaca tulisan dan comment-comment ini membuat saya menjatuhkan pilihan dengan Indonesia Mengajar.
Banyak teman yang menyayangkan pilihan saya. Teman-teman yang bercita-cita untuk bekerja di tempat tersebut dan teman-teman saya yang ingin membangun bisnis bersama saya. Mereka yakin bahwa saya bisa mendapatkan ilmu disana dan kemudian keluar dan membangun bisnis bersama teman-teman saya.
Tapi saya lebih setuju dengan comment Bapak
“orang yang kerja lama dan mendapat gaji tinggi justru cenderung membina karirnya sebagai profesional sampai pensiun. Karena dia sudah invest banyak di skill dan pengetahuan, dia tidak berani keluar.”
Terima kasih untuk inspirasinya Pak.
February 28, 2011 at 9:43 pm
Tulisan ini telah membuat sebuat keputusan besar dalam hidup saya Pak. Beberapa minggu lalu saya baru saja diterima untuk mengikuti program training di Microsoft Indonesia melalui fast track program (semacam ODP kalau di Bank) dan kemudian akan bekerja sebagai developer diperusahaan tersebut.
Tapi satu minggu sebelum saya menandatangani kontrak, saya mendapatkan panggilan untuk mengikuti tes tahap akhir untuk menjadi guru dipelosok negeri melalui yayasan Indonesia Mengajar. Namun dalam satu kondisi memaksa saya harus membuat sebuah keputusan. Microsoft yang sudah pasti atau Indonesia Mengajar yang masih pada tahap akhir. Dan tidak sengaja saya menemukan tulisan ini di google, dan setelah saya membaca tulisan dan comment-comment ini membuat saya menjatuhkan pilihan dengan Indonesia Mengajar.
Banyak teman yang menyayangkan pilihan saya. Teman-teman yang bercita-cita untuk bekerja di tempat tersebut dan teman-teman saya yang ingin membangun bisnis bersama saya. Mereka yakin bahwa saya bisa mendapatkan ilmu disana dan kemudian keluar dan membangun bisnis bersama teman-teman saya.
Tapi saya lebih setuju dengan comment Bapak bahwa orang yang sudah bekerja disuatu perusahaan dengan gaji tinggi akan sulit keluar dari pekerjaanya.
Terima kasih untuk inspirasinya Pak.
March 2, 2011 at 7:42 am
Good luck with your journey.. it will be very exciting
December 15, 2013 at 11:11 pm
(Y)
April 29, 2014 at 6:44 pm
Pola pikirnya ngena banget pak :
Mau kerja jadi pegawai Google, atau membuat sebuah start-up, sebuah Google?
Saya kira Steve Jobs, Michael Dell, Bill Gates, Jeff Bezzos, Larry Page, Sergei Brin dan lain-lain tidak pernah berminat melamar kerja di perusahaan manapun. Mereka ingin membuat organisasi dimana banyak orang berminat untuk melamar di sana.
Makasih sharingnya pak