The Journey (6)

“Papa, apa ini rumah oma-opa?”, tanya Gladys saat kami tiba di Tomohon Jumat pagi kemarin. Saya tercenung.  Hmm, setelah hidup lebih 75 tahun mereka ternyata tidak punya rumah sendiri.

Salah satu impian setiap keluarga muda adalah memiliki rumah sendiri.  Rumah lambang keluarga.  Rumah lambang perlindungan.  Rasanya belum afdol kalau kita tidak memiliki rumah.

Demikian juga yang dirasakan keluarga muda Langi, ayah dan ibu saya saat mereka menikah 1959.  Begitu menikah, ayah dan ibu bersiap untuk tugas di Minahasa.  Ibu saya menapakkan kaki di tanah Minahasa di tahun 1960.  Suasana Minahasa masih suasana perang Permesta.  Puing-puing di mana-mana.

Keluarga muda ini  harus menunggu berbulan-bulan di kota Manado sebelum bisa menembus Tomohon.  Meskipun jarak Tomohon dan Manado hanya 25 km, suasana tidak aman.  Harus konvoi dengan pengawalan militer.  Ibu tidak tahu harus bilang apa.  Dari kenyamanan seorang guru Bahasa Inggris di Jakarta dengan gaji tinggi, sekarang ia harus mengikuti suaminya menempuh hidup baru di tengah tanah Minahasa yang porak poranda akibat perang saudara.  (I hate wars. I curse those who started them).

Hatinya risau.  Di sepanjang perjalanan, rumah-rumah sudah berubah menjadi puing.  Entah korban pemboman, entah dibakar orang.  Akhirnya 1960, mereka tiba dan mendapat tempat di sebuah asrama.  Keluarga muda ini tinggal di sayap kiri dari sebuah asrama mahasiswa.

Meskipun rumah ini sangat sederhana, dan cuma menumpang bukan milik sendiri, tapi ia membawa kebahagiaan besar.  Kami anak-anak berempat, Martina, saya, Yanti, dan Yusak lahir di sini.  Dan rumah ini menjadi tempat perlindungan dari dentuman perang sisa-sisa Permesta serta perusuh komunis di tahun 1965.  Dari rumah ini ayah dan ibu ikut merintis berdirinya UKIT dan SMA Kristen Tomohon.  Ibu menjadi kepala sekolah pertama SMA ini.

Tahun 1967 mereka berhasil membeli sebidang tanah di Kuranga, di belakang asrama ini, dan tahun 1968 berdirilah sebuah rumah, milik mereka.  Di rumah Kuranga ini kami tumbuh.  Semua masa kecil kami berlangsung di rumah ini.

Tahun 1976 kami pindah ke Sukabumi, dan rumah Kuranga ini dikontrakkan pada GMIM, organisasi gereja tempat ayah bekerja.  Sejarah berulang, kami kembali tinggal di bekas asrama Sekolah Hidup Baru, Jalan Bayangkara Sukabumi.  Kali ini di sayap kanan.  Kira-kira setahun kemudian kami boleh menikmati seluruh asrama.  Lucu.  Namanya juga asrama, banyak sekali tempat tidur.  Saya boleh pilih tidur di mana saja.  Dari rumah itu ayah dan ibu melepas kami keluar rumah, menetas.  Martina ke IPB, saya ke ITB, dan Yanti ke UNPAD.  Yusak ke SMA 3 Bandung.  Di tahun 1982 ayah dan ibu kembali ke Tomohon, berdua saja tanpa anak-anak.  Keluarganya sudah menetas.

Tapi mereka kehilangan rumah Kuranga.  Saat anak-anak masuk universitas, ayah dan ibu kehabisan uang untuk ongkos.  Ayah dan Ibu menjual rumah Kuranga ke GMIM untuk menutupi biaya kuliah kami.  Jadi saat kembali ke Tomohon 1982, sejarah berulang.  Mereka berdua mulai menumpang di rumah fasilitas dosen UKIT.  Beertahun-tahun.  Tapi kali ini ada peningkatan, tidak lagi di asrama mahasiswa.

Martina, saya, dan Yanti kemudian berhasil menyelesaikan kuliah, berkeluarga, dan membeli rumah masing-masing.  Kecuali Yusak.  Dia memilih menjadi pendeta.  Menikah juga dengan Meis, rekan kuliah nya di sekolah pendeta.  Jadi keluarga Yusak mulai menapaki jalan ayah ibu, hidup di rumah kontrakan atau fasilitas kerja.

Ibu sangat pintar mengatur keuangan.  Well, kalau kurang uang kita harus pintar mengatur.  Begitu kami anak-anak bertiga lulus, uang kuliah ia alihkan menyicil sepetak kebun di Kopergub, Malalayang Manado.  Jauh dari keramaian, di tengah pepohonan kelapa.  Mereka membawa rumah kecil dari selatan Minahasa dan memasangnya di situ.  Akhirnya punya juga sebuah rumah sendiri.  Sangat sederhana.  Ditengah daerah perkebunan, dengan hujan sebagai satu-satunya sumber air.

Menjelang pensiun kami agak bingung.  Ayah dan ibu harus keluar dari rumah fasilitas UKIT.  Mereka tidak bisa menetap di Kopergub.  Terlalu jauh dan terpencil untuk dua orang sepuh.  Tapi mereka tenang-tenang saja.  Terbiasa dengan keajaiban hidup.

Dan keajaiban datang.

Setelah menamatkan S2 di Universitas Duta Wacana Jogjakarta, Pendeta Yusak diterima menjadi dosen di UKIT.  Jadi dia kemudian mendapatkan fasilitas tempat tinggal.  Rumah yang sejuk dan tenang, lebih bagus dari rumah ketiga kakaknya.  It is getting better.  Pendeta Meis, istri Yusak, ditugaskan memipin sebuah jemaat kecil di Malalayang Manado.  Dan mendapatkan pinjaman rumah pastori dari jemaat.  Kami kakak-kakak bertiga tertawa takjub.  Kami harus menabung bertahun-tahun untuk mendapatkan rumah sendiri. Tapi pendeta Yusak, out of nowhere, tiba-tiba bisa tinggal gratis di dua rumah tinggal sekaligus.  Kami sudah terbiasa dengan keajaiban.  Tapi tetap kami menggeleng takjub.

Tentu satu orang hanya bisa tidur di satu rumah.  Wong badannya cuma satu.  Jadilah Pendeta Yusak dan Meis tinggal di rumah pastori Malalayang, dan ayah ibu menjagai rumah fasilitas UKIT.  Solved. In a big huge amazing way.

Yusak dan Meis tentu berpikir panjang.  Iapun berusaha memiliki rumah sendiri, sama dengan Ayah dan Ibu di tahun 1968.  Kali ini ia menyicil pada ayah dan ibu rumah di Kopergub.  Rumah di Kopergub sudah berpindah tangan untuk Yusak.  Cicilan sudah berjalan setahun, dan dua tahun lagi lunas.

“Papa, apa ini rumah oma-opa?”, tanya Gladys di Tomohon.  Hmm, bukan, ini rumah fasilitas UKIT untuk Yusak.  They don’t have any.  Setelah tujuhpuluh lima tahun, mereka tidak punya rumah.

Tapi seluruh dunia ini adalah rumah mereka.  Mereka bisa datang kapan saja di rumah Martina, rumah saya, rumah Yanti, dan rumah Yusak.  Tersedia kamar khusus untuk mereka.  Dan ada anak-anak dan cucu yang tertawa senang ketika mereka datang.  Dan hari ini Ina hampir menyelesaikan pembuatan sebuah kamar khusus untuk Ayah dan Ibu, setiap saat mereka datang ke Bandung.  One of our best rooms.

Saat mereka menjual rumah Kuranga, mereka telah melunasi tempat di hati kami.

Dan rumah seperti itu disiapkan bagi anda semua, keluarga muda yang begitu berharap suatu saat bisa memiliki rumah sendiri.

Saya ingin anda tahu bahwa Tuhan akan melindungi dan menaungi keluarga anda.  Anda akan diberi rejeki, seperti kami bertiga, untuk membeli rumah sendiri.  Atau anda akan diberi keajaiban, seperti ayah dan ibu atau Yusak dan Meis, sehingga bisa hidup dalam sebuah rumah yang dibeli Tuhan.

Have a great home…


  1. iwan

    yes, that’s true, cerita2 bpk slalu menginspirasi ^_^

  2. amin,, i hope so someday 😀

  3. rupanya keluarga pak armein telah ber at home sebelum have a house. banyak orang yang sebaliknya. salut.

  4. Cerita yang sangat indah Pak Armein, terimakasih banyak atas sharingnya.

  5. saya pengen sekali punya rumah 🙂 house dan home tentu. untuk anak-anak saya
    terima kasih untuk postingnya ya pa
    (semangat!)

  6. tita

    hmmmm…Tuhan memang maha bercanda ya Pak…
    Tapi, yang pasti, ketika tangan Tuhan bekerja, maka segala hal menjadi mungkin..

  7. good story Pak…selalu indah rencana & rancangannya ya Pak..

  8. H.M

    Dy memang selalu memberi jalan.. Sama halny dengan hdup keluarga saya yg jatuh miskin waktu saya lahir.. Dr punya pabrik, sampai tidak punya apa2.. Namun Tuhan selalu memberi jalan.. Tuhan bekerja seperti pencuri dmalam hari, diam2 dan membuat kejutan2 kehidupan.. Hingga saya dapat melanjutkan smp dgn bantuan biaya, sma dgn beasiswa dan bantuan, bahkan sekarang, kuliah dgn beasiswa.. Siapa yg menyangka, anak pedagang kecil yg miskin mampu kuliah.. Tanpa Dy, saya tidak mgkn bs sperti saat ini.. Saya yakin, saya mampu S3 juga seperti bpk.. Tuhan memang luar biasa, tanpa Dy, qta bukan apa2..




Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s



%d bloggers like this: