Finish it

Just do it…“, adalah semboyan terkenal yang menjadi tagline sepatu Nike.  Ini mendorong orang untuk tidak ragu-ragu.  Bila kita punya ide bagus, just do it.  Saya sendiri tersemangati oleh prinsip ini.  Namun akibatnya, saya memulai banyak inisatif dan kemudian kewalahan olehnya.  Saya belajar bahwa semboyan ini harus dilengkapi dengan semboyan kedua: Finish it

Ada orang yang hanya duduk-duduk saja dan memberikan komentar.  Kadang-kadang pedas. Memang asik, bisa mencela orang tanpa harus melakukan sesuatu.  Karenanya, kita bisa terjebak, tidak mau berusaha.  Lebih senang menyalahkan orang lain.

Semboyan just do it telah menginspirasi banyak orang untuk tidak duduk-duduk saya.  Termasuk saya.  Ia mendorong orang untuk penuh inisiatif.  We do something.  Kita memulai suatu proyek.

Banyak proyek di alam ini memiliki semacam kurva S (S curve).  Kurva S ini memiliki karakteristik khas.  Suatu kegiatan tumbuh dengan tiga fase: fase awal tumbuh dengan landai, kemudian fase tengah naik dengan curam, baru fase akhir kembali landai dan settle pada ketinggian akhir.

Di fase awal, semua berjalan menyenangkan, karena landai.  Tapi kemudian saat memasuki fase tengah, situasi menjadi sukar dan berat.  Banyak orang kemudian menyerah.  Proyek menjadi terbengkelai.

Kita kemudian mencari kompensasi dengan memulai proyek baru.  Yang lebih menyenangkan.  Tapi masalah kembali terjadi.  Pada saat kita memasuki fase kedua, kita kembali merasa berat dan menyerah.

Akibatnya kita penuh dengan berbagai kurva s yang tidak tuntas, membebani konsentrasi kita.

Saya pikir kita harus belajar ilmu dan displin untuk menyelesaikan sesuatu.

Pertama kita harus menyiapkan mental kita, menerima bahwa bila keadaan menjadi berat maka kita sudah ada dalam track yang benar.  Berarti kita sedang dalam kurva S yang membutuhkan upaya kita.  Kita mendorong diri kita dengan membayangkan beban ini sebagai tangga untuk mencapai impian kita.

Saya penah mendaki gunung.  Lebih dari sekali.  Dan selalu ada saat saya menyesal mengapa saya menaiki gunung ini.  Karena kaki terasa sangat berat.  Badan terasa sangat lelah.  Berbagai pikiran menggoda saya untuk kembali.  Saya kira hal ini sama dengan saat kita menyelesaikan sebuah proyek. Kita harus memotivasi diri untuk tidak menyerah.

Salah satu teknik tidak menyerah adalah menggunakan peer-pressure.  Saya ingat keputusan saya untuk tidak menyerah saat mendaki gunung itu banyak ditentukan oleh kehadiran teman-teman seperjalanan saya.  Kami kan mendaki bersama-sama.  Jadi saya malu untuk menyerah.

Jadi saya pikir, kita harus berteman, harus dikelilingi oleh orang seperjalanan yang terus saling mendorong untuk tidak menyerah.  Konon prajurit berjuang di medan tempur dengan gagah berani bukan karena tujuan perang mulia, atau punya jendral yang hebat.  Lebih karena peer pressure, tidak ingin mengecewakan teman satu regu.  Bayangkan, orang berani mati karena tidak ingin teman-teman seregu menganggap kita kurang solider.

Jadi, kita harus belajar teknik untuk menyelesaikan sesuatu.  Mentuntaskan sesuatu.

Di tahun 2002 saya menghadapi situasi pelik.  Dari beberapa proyek riset yang sedang dijalankan, satu proyek bermasalah besar.  Padahal sponsor sudah menaruh harapan besar pada proyek yang satu ini.  Saya akhirnya berkesimpulan proyek ini sudah gagal dan tidak bisa diteruskan.  Maka saya mengambil langkah drastis menghentikan proyek ini, dan membubarkan tim nya.  Selama tiga tahun saya harus menghadapi berbagai kecaman dan pernyataan negatif akibat kegagalan proyek ini.  Tetapi life goes on.  Harga itu harus kami bayar, dan lebih murah dibanding bila saya memaksakan proyek itu terus berlangsung.   Harus ada sense of ending, completion, finish.

Jadi bukan saja harus ada akhir dari sebuah proyek yang baik, harus juga ada akhir bagi sesuatu yang buruk.  Lebih cepat lebih baik.

 


  1. Rhino

    Mengakhiri dengan keberhasilan adalah prestasi, inilah selalu menjadi teladan, menjadi dorongan dari luar, dan menjadi akhir dalam dongeng anak-anak. …… and lived happily ever after

    Mengakiri dalam kegagalan adalah suatu jiwa besar. Hanya mereka yang mengerti ‘cost and benefit’ , statistik, analisa dan lebih mendahulukan kepentingan orang bersama daripada ambisi pribadi, yang dapat melakukannya. Sayangnya hal ini jarang terekspos sebagai teladan.

  2. Pak Armein,

    Kapan ilmu “Getting things done”-nya dibahas ?? Padahal judul postingnya dah mirip-mirip judul bukunya. Hehehe =P

  3. we have to finish what we have started kan pa?
    kapan kita decide untuk quit (seperti kasus proyek bapa itu)

  4. Tagline “Just do it…“ ini juga menginspirasi saya.Terima kasih sudah menyajikanya dalam angle yang berbeda, yaitu dengan menambahkan tagline lain “Finish it…”.
    Saya juga pernah posting dengan tema ini namun ditambah penekanan lain “Just Do It …. with heart” … lakukan lah! dengan hati … sepenuh hati (hati yang tulus & passion/a very strong feeling of love & enthusiasm).
    http://jmzach.wordpress.com/2007/10/20/just-do-it-with-heart/

  5. azrl

    @kunilkuda: ia sedang cari pengalaman dan waktu yang pas untuk GTD ini.

    @ayi: betul, we have to finished it. Saya menghentikan proyek itu saat ia kehilangan hal-hal prinsip dan “nyawa” nya. Saya menghitung untung-rugi meneruskan atau menghentikan. Proyek yang tidak punya nyawa tapi masih dibiarkan hidup itu jadi mirip zombie 🙂

  1. 1 Gak Jelas Tapi Tetep Semangat « KP Elektro ITB 2005

    […] pukul 16.00. Agak turun sih semangatnya, cuman untung baca postingan dari Pak Armein tentang Finish It. Hehe. Jadi semangat untuk create something. Soalnya kalau kerjaan yang didapat disini, rata-rata, […]

  2. 2 Just Finish It! « learning for life

    […] discimus « The D-day was Passed Just Finish It! June 27, 2008 Struggling to finish this project […]




Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s



%d bloggers like this: