Archive for April 4th, 2008
Sabtu ini kami staf PPTIK mau kumpul seharian di Hotel Novotel. Mau konsolidasi dengan peneliti-peneliti PPTIK.
PPTIK sedang menyiapkan tested smart village di desa Cintamekar, Subang. Peneliti-peneliti sedang menginovasi berbagai TIK untuk kebutuhan masyarakat di desa. Di sana mulai terpasang telepon digital dan jaringan IP. Kami berharap jaringan IP bisa menghubungkan rumah-rumah.
Kamis kemarin saya harus membuat decision. Ada dua undangan pada jam 10:00-12:00. Mana yang mau dipilih .Satu dari tim akreditasi, dipimpin pak Dwi. Satu lagi dari Ina, ingin ngobrol sambil makan. Setelah saya timbang-timbang, saya minta maaf pada pak Dwi. Saya pilih date dengan Ina.
Pernah merasa frustrasi? Pernah merasa diperlakukan tidak adil? Pernah merasa heran dengan rendahnya kualitas keputusan yang dibuat? Saya pikir ini terjadi karena mediocres rule our earth right now.
Setelah masuk ekonomi informasi, ekonomi pengetahuan, dan ekonomi kreatif, ke mana dunia IT akan merasuk? Ekonomi spiritual melalui spiritual computing!
Untuk menenangkan si anak yang pucat ketakutan di kursi pasien, seorang dokter gigi sengaja melucu. Sambil memegang kuping si anak, dia bilang “Ini hidung kamu ya…?”
Langsung si anak berdiri, tarik tangan ibuya menuju pintu, “Ayo ma, kita pergi, ini dokter nggak bener, nggak tahu apa-apa…”
Gladys (18), puteri saya yang pertama, adalah anak perjuangan. Dia lahir ketika saya baru berusia 27 tahun 1 bulan 10 hari. Kami masih tinggal di Graha Mertua Raya. Gaji masih honorer, RP 200 ribu sebulan dari PAU-ME. Tapi dialah benar-benar lambang perjuangan…
Ketika kami menikah, Ina dan saya harus bekerja. Uang tidak cukup. Kami belum terampil mengurus bayi. Kami masih bingung dan jantungan beneran kalau Gladys panas tinggi, atau mata step. Selalu terlambat beri susu, atau salah ini itu.
Ketika kami ke Canada untuk tugas belajar, uang kami sangat sedikit. Gladys harus hidup serba terbatas. Selama saya mengambil S2, cuma sekali kami mampu membawa Gladys ke McD. Itupun beli yang termurah, dan Ina dan saya nonton bahagia.
Gladys sangat tabah ketika satu per satu adiknya nongol, dan dia tidak lagi menjadi anak tunggal. Beban Ina semakin banyak, dan tentu gampang ngomel. Beban saya tambah besar, dan Gladys mulai kaget melihat ketidak sabaran saya.
Dan suatu saat Gladys berjumpa Guru TK, Mrs Redekop, di Dalhousie Elementray School. Entah magic apa yang digunakan ibu ini, antusias Gladys terbuka. Kami dikejar-kejar Gladys untuk mengajarinya berbagai buku. She has found excitement in learning! Gladys sangat gigih. Semua yang dipelajarinya jadi. Wah.
Saat kami kembali ke Indonesia 1996, dia sudah naik kelas 2. Tapi sekolah di Indonesia susah-susah dan mahal. Kami kebingungan. Akhirnya, saya menyerah. Gladys kami masukkan ke kelas 1 SD lagi. Daripada harus menghafal macam-macam, kan ya. Dan SD ini bukan SD favorit.
Turnout ini good decision. Dia sering masuk 5 besar samapi lulus. Nah waktu mau masuk SMP kami berpikir untuk mencoba sekolah “bagus”, SMP BPK 1. Tapi setelah test, tidak lulus! Bahkan hanya diterima di kelas D di SMP BPK 5. (Kelas A yang terbaik, baru kelas B, dst). Wahh, kami resah.
Rupanya ini memang yang terbaik juga. Karena kelas D diajarkan dengan lebih pelan, maka Gladys cepat menguasainya. Hanya sebentar, nilai-nilainya langsung menonjol. Lulus di sana dengan posisi 5 besar se SMP, mengalahkan anak-anak kelas A, dan menjadi salah satu pelajar teladan Bandung.
Masuklah ia ke SMA favorit dengan Voucher dan tanpa test. Kebetulan SMA ini baru mau buka kelas bilingual. Gladys menjadi angkatan pertama. Wah dia enjoy sekali. Prestasinya menonjol sehingga dikirim mewakili Indonesia ke Jepang tahun lalu dalam Konperensi Anak Bidang Lingkungan Air!
Looking back, semua ini jalan Tuhan. Kalau dia dulu langsung masuk kelas 2 SD, dia tidak mengalami kelas bilingual, karena belum buka. Kalau, dia tidak lewat BPK 5, mungkin dia akan tenggelam diantara para bintang, dan tidak mendapat kesempatan khusus. Dan belakangan kami baru tahu, ternyata lembar soal Gladys saat itu hilang satu lembar. Pantesan…
Saat ini ia sedang berjuang menyiapkan masuk universitas. We have learned our lessons. Apapun yang terjadi, Tuhan yang lebih tahu. Ia punya rencanaNya melalui keberhasilan atau pun kegagalan Glayds..
Untuk Ina dan saya, she is already a warrior princess…
Nah yang ini penyakit kronis abadi mahasiswa S3. Stress disuruh menguasai isi paper jurnal. Kasihan sudah di juling-julingi masih tidak masuk.
Resep saya (hadiah kakak kelas saya waktu di PMK tiap jumat dulu): baca dari awal sampai akhir, tanpa peduli mengerti atau tidak. Begitu selesai contreng di halaman depan satu kali. Kalau masih tidak mengerti, ulangi baca lagi dari awal sampai akhir tanpa peduli mengerti atau tidak. Dan contreng sekali lagi. Terus seperti itu.
Kalau sudah sepuluh contrengan masih tidak mengerti, buang paper itu. Stupid paper. Pasti penulisya ngawur atau tidak niat membuat kita mengerti.
Bila anda mengikuti kuliah atau kursus atau apapun, dan anda tidak mengerti, apa yang anda lakukan?
Saya percaya, kita harus mengkaji, apa persisnya ketidak-mengertian kita. Ada level-level ketidak menegrtian. Dengan mengerti kita berada di level mana, maka jalan keluar bisa dicari.
Surprising visit dari eks mahasiswa saya Zalfany di beranda kita ini mengingatkan saya berbagai evolusi ujian EL3002 Digital Sinal Processing (DSP).